Jejakdarah - China telah lama dikenal sebagai negara yang agresif dalam mengejar kemajuan teknologi. Dalam beberapa dekade terakhir, negeri Tirai Bambu ini tak hanya berkembang dalam bidang industri dan ekonomi, tetapi juga dalam ranah ilmu pengetahuan yang paling mutakhir—termasuk salah satu yang paling kontroversial Rekayasa Genetik di China. Di balik janji untuk menyembuhkan penyakit dan meningkatkan kualitas hidup manusia, tersembunyi juga pertanyaan-pertanyaan etis dan kekhawatiran akan masa depan umat manusia.
Apa Itu Rekayasa Genetik?
Rekayasa genetik adalah proses mengubah struktur genetik suatu organisme, baik manusia, hewan, maupun tumbuhan. Dengan teknologi ini, para ilmuwan dapat "mengedit" DNA untuk menghilangkan gen penyakit, meningkatkan ketahanan tubuh, atau bahkan menambahkan sifat-sifat tertentu yang diinginkan. Teknologi seperti CRISPR-Cas9 membuat proses ini semakin cepat, murah, dan akurat.
China di Garis Depan
China tidak hanya mengikuti perkembangan ini—mereka justru menjadi pelopornya. Sejak tahun 2015, peneliti di China telah melakukan berbagai eksperimen menggunakan teknologi CRISPR, mulai dari pengeditan gen embrio manusia, hingga pengembangan tanaman tahan cuaca ekstrim. Mereka bahkan melampaui batas-batas yang selama ini dianggap tabu di dunia ilmiah internasional.
Bayi CRISPR: Awal dari Kontroversi Besar
Pada tahun 2018, dunia gempar oleh pengumuman dari seorang ilmuwan China bernama He Jiankui. Ia mengklaim telah menciptakan bayi manusia pertama yang mengalami rekayasa genetik. Bayi kembar bernama Lulu dan Nana lahir setelah DNA embrio mereka diedit untuk membuat mereka kebal terhadap virus HIV. Ini adalah pertama kalinya gen manusia dimodifikasi secara langsung dan ditanamkan ke dalam rahim untuk menghasilkan manusia hidup.
Klaim ini sontak menuai kecaman global. Komunitas ilmiah menilai tindakan He Jiankui sebagai pelanggaran besar terhadap etika medis dan ilmiah. Pasalnya, teknologi CRISPR masih dalam tahap eksperimen dan memiliki potensi besar menciptakan efek samping jangka panjang yang belum dipahami sepenuhnya.
Tak lama setelah pengumuman itu, pemerintah China menangkap He Jiankui dan menjatuhkan hukuman tiga tahun penjara karena praktik medis ilegal. Namun, peristiwa ini menjadi titik balik: rekayasa genetik bukan lagi sekadar kemungkinan—ia telah menjadi kenyataan.
Ambisi Negara: Antara Sains dan Supremasi Global
China tidak secara terbuka menyerah setelah insiden bayi CRISPR. Sebaliknya, mereka melipatgandakan investasi dalam penelitian genetika. Institusi seperti BGI Group (Beijing Genomics Institute) menjadi pusat dari proyek besar yang mengumpulkan data genetik dari jutaan penduduk China.
Tujuannya? Tak hanya untuk pengobatan atau pertanian, tapi juga untuk menciptakan pemahaman lebih dalam tentang evolusi manusia, kecerdasan, dan penyakit keturunan. Beberapa laporan bahkan menyebut bahwa data ini dapat digunakan untuk mendukung teknologi bioenhancement—yaitu peningkatan kemampuan manusia secara biologis.
Tidak sedikit pihak yang khawatir, terutama dari Barat. Mereka menilai bahwa data genetik yang dikumpulkan China bisa menjadi alat geopolitik, bahkan militer. Ada juga kekhawatiran akan munculnya "kelas genetik baru", yaitu manusia dengan keunggulan biologis yang diciptakan lewat rekayasa, bukan hasil alam.
Rekayasa Genetik di Pertanian dan Peternakan
Selain manusia, China juga gencar merekayasa genetik pada hewan dan tanaman. Peneliti telah berhasil menciptakan babi miniatur, sapi penghasil susu berkualitas tinggi, bahkan anjing penjaga militer dengan kekuatan otot ekstra. Di bidang pertanian, padi tahan kekeringan dan tomat yang tahan penyakit juga dikembangkan dengan pendekatan genetik.
Tujuannya sederhana: memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri yang sangat besar, sekaligus menjadi pemain utama di pasar agrikultur global.
Aspek Etis dan Hukum yang Belum Matang
Walaupun China mengklaim bahwa mereka telah memperketat regulasi setelah insiden bayi CRISPR, banyak kalangan internasional menilai regulasi tersebut masih longgar. Beberapa ilmuwan khawatir bahwa eksperimen genetik bisa dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa pengawasan ketat. Hal ini berbahaya, mengingat efek rekayasa genetik bisa melintasi generasi dan wilayah.
Dalam dunia sains, etika seringkali menjadi pedoman utama, karena teknologi selalu lebih cepat berkembang daripada kebijakan hukum. Inilah yang membuat diskusi tentang "boleh atau tidak boleh" menjadi sangat penting.
Menuju Masa Depan: Ancaman atau Harapan?
Tidak bisa dipungkiri bahwa rekayasa genetik memiliki potensi luar biasa. Bayangkan jika kanker bisa dicegah sejak dalam kandungan, atau jika tanaman bisa tumbuh subur di tanah yang sebelumnya tandus. Namun, seperti pisau bermata dua, potensi ini bisa berubah menjadi bencana jika disalahgunakan.
China, dengan kekuatan sumber daya, populasi, dan ambisi nasional yang besar, berada dalam posisi unik: menjadi penentu arah masa depan bioteknologi dunia. Namun pertanyaannya adalah—apakah mereka akan menavigasi jalan ini dengan bijak?
Rekayasa genetik di China adalah cerita tentang kebangkitan teknologi yang luar biasa, tetapi juga tentang ketidakpastian moral yang mengikutinya. Dunia sedang menyaksikan eksperimen sosial dan ilmiah terbesar dalam sejarah manusia, dan hasilnya akan mempengaruhi kita semua.
Jika dilakukan dengan benar dan penuh tanggung jawab, rekayasa genetik bisa membawa kita pada era baru kesehatan dan keberlanjutan. Tapi jika tidak, kita mungkin harus menghadapi konsekuensi yang tak bisa dibalikkan. Maka dari itu, bukan hanya ilmuwan China yang harus berpikir dua kali—kita semua pun perlu ikut serta dalam diskusi tentang masa depan genetika umat manusia.
0 Komentar